Adab Mulia Menasehati Saudara Kita
Nasehat menasehati menuju kebenaran harus digalakkan, bagi
yang dinasehati seharusnya ia berterima kasih kepada orang yang telah
menunjukkan kekurangan dan kesalahannya, hanya saja hal ini jarang terjadi,
pada umumnya manusia tidak suka disalahkan apalagi kalau teguran itu
disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik.
Seorang pemberi nasehat haruslah mengetahui metode yang baik
agar nasehatnya dapat diterima oleh orang lain. Diantara metode nasehat yang
baik adalah memberi nasehat kepada orang lain secara rahasia tanpa diketahui
oleh orang lain. Dalam kesempatan ini akan kami nukilkan penjelasan para ulama
tentang adab yang satu ini.
Imam Ibnu Hibban (wafat tahun 534 H) berkata, Nasehat itu
merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum
ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan cara rahasia, tidak
boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang lain
maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara
rahasia maka dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh
perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih
besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan menyampaikan dengan maksud
mencelanya.
Kemudian Imam Ibnu Hibban menyebutkan dengan sanadnya sampai
kepada Sufyan, ia berkata, Saya berkata kepada Mis''ar, ''Apakah engkau suka
apabila ada orang lain memberitahumu tentang kekurangan-kekuranganmu?'' Maka ia
berkata, ''Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan
kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku maka saya tidak senang,
tapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasehat maka saya
senang''.
Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said al
Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Mansur telah menceritakan
kepada kami, Ali ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan ia
berkata, Talhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak
terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu
dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail
berkata, ''Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku?'' Ia berkata,
''Saya melihatmu ketika engkau sendang shalat kemarin sempat melirik ke arah
lain''.
Imam Ibnu Hibban berkata, Nasehat apabila dilaksanakan
seperti apa yang telah kami sebutkan akan melanggengkan kasih sayang, dan
menyebabkan terealisasinya ukhuwah.
Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456H) berkata, Maka wajib atas
seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka
ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi
nasehat maka nasehatilah secara rahasia, jangan dihadapan orang lain, dan cukup
dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila
orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus terang.
Janganlah engkau menasehati orang lain dengan syarat nasehatmu harus diterima.
Apabila engkau melampaui adab-adab tadi maka engkau yang dzalim bukan pemberi
nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan bukan pemberi amanat dan
pelaksana hak ukuwah. Ini (-yakni memberi nasehat dengan syarat harus
diterima-) bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan melainkan hukum
rimba, bagaikan seorang penguasa dengan rakyatnya dan tuan dengan hamba
sahayanya.
Imam Ibnu Rajab (wafat tahun 795H) berkata, Al Fudhail
(wafat tahun 187H) berkata, ''Seorang mukmin menutup (aib saudaranya) dan
menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib
saudaranya) dan memburuk-burukkannya''.
Apa yang disebutkan oleh al Fudhail ini merupakan ciri
antara nasehat dan memburuk-burukkan, yaitu bahwa nasehat itu dengan cara
rahasia sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran. Sebagaimana
dikatakan, ''Barangsiapa mengingatkan saudaranya ditengah-tengah orang banyak
maka ia telah menjelek-jelekkannya.
Dan orang-orang salaf membenci amar ma''ruf nahi mungkar
secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang
menasehati dengan yang dinasehati, ini merupakan ciri nasehat yang murni dan
ikhlash, karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarkan aib-aib
orang yang dinasehatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan
yang dilakukannya.
Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain
maka hal tersebut yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta''ala
berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan
yang keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab
yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak
mengetahui." (An Nur : 19).
Dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menutup
aib seorang muslim tidak terhitung banyaknya.
Imam Syafi''i (wafat tahun 204H) berkata dalam syairnya:
Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat
ketika aku sendirian
Hindarilah memberi nasehat kepadaku ditengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat dihadapan banyak orang
sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku maka
janganlah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, Perlu diketahui
bahwa nasehat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu
dengannya, karena apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata
maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat,
tetapi apabila engkau bicarakan dia dihadapan orang banyak maka besar
kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan
tidak menerima nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin
balas dendam dan mendeskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di
mata manusia, sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut, tetapi apabila
dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua maka nasehatmu itu amat
berarti bagi dia, dan dia akan menerimanya darimu.
Kapan dibolehkan memberi nasehat dihadapan orang lain?
Walaupun demikian ada beberapa perkecualian yang membolehkan
atau mengharuskan seseorang untuk menasehati orang lain di depan banyak orang.
Salah seorang Imam Masjid di kota Khobar Saudi Arabia dalam
salah satu khutbah Jum''ahnya mengatakan, Umat Islam, mereka itu memiliki
kehormatan dan harga diri, oleh karena tiu haruslah kita menjaga hak-hak dan
kehormatan mereka, haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi
kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain
apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau
menasehatinya sebelum terlambat. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Shahih
Muslim. Dari Jabir bahwasanya ia berkata, ''Sulaik al Ghathafani datang (ke
masjid) hari Jum''ah dan Rasulullah shallallahu ''alaihi wasallam sedang duduk
di atas mimbar, maka Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka
Rasulullah shallallahu ''alaihi wasallam bertanya kepadanya, ''Apakah engaku
telah melaksanakan sholat dua rakaat?'' Ia berkata, ''Belum'' Maka beliau
shallallahu ''alaihi wasallam memerintahkan kepadanya, ''Bangunlah dan
shalatlah dua rakaat''.''
Ini bukannya sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan
kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk
menasehatinya, apabila dibiarkan maka akan terlewatkan, karena Rasulullah
shallallahu ''alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam
masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk, perintah
tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan padaa saat itu juga tidak bisa ditunda
sampai selesai shalat Jum''ah.
Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda
nasehat sampai selesainya majelis lalu engkau menasiehati sesreorang dihadapan
orang lain di majelis tersebut maka hal ini tidak benar.
Sangat disayangkan sekali ketika kita mendengar tentang
orang-orang yang termasuk memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima
kebenaran, akan tetapi mereka berpecah belah, masing-masing di antara mereka
memiliki nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti ini sesungghunya tidak
benar, dan sesungguhnya dien Allah itu satu dan ummat Islam adalah ummat yang
satu, Allah berfirman: "Sesunggunya (agama tauhid) ini adalah agama kalian
semua, agama yang satu dan Aku adalah Rab kalian maka bertakwalah
kepada-Ku." (Al Mu-minun: 52)
Dan Allah Ta''ala berfirman kepada nabi-Nya shallallahu
''alaihi wasallam:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada
Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat. (Al An''am : 159)
Dan Allah Ta''ala berfirman, "Dia telah mensyaratkan
bagi kalian tentang dien yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa, yaitu tegakkanlah dien dan janganlah kalian berpecah belah
tentangnya." (Asy Syura: 13).
Apabila hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita maka
seharusnya kita praktekkan bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu
pembahasan, saling berdiskusi dalam rangka ishlah (perbaikan) bukan untuk
mendeskreditkan atau membalas dendam, karena sesungguhnya siapa saja yang
membantah orang lain atau adu argumentasi dengan maksud mempertahankan
pendapatnya atau untuk menghinakan pendapat orang lain dan bermaksud untuk
mencela bukan untuk ishlah maka hasilnya tidak di ridhai oleh Allah dan
rasul-Nya, pada umumnya demikian.
Kewajiban kita adalah untuk menjadi umat yang satu, kita
tidak mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki kesalahan, bahkan manusia
itu memiliki kesalahan disamping memiliki kebenaran. Hanya saja pembicaraan
kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki kesalahan, maka bukan cara yang
benar untuk memperbaiki kesalahan apabila kita menyebutkannya dibelakang orang
tersebut sambil menjelek-jelekkannya, akan tetapi cara yang benar untuk
memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan mendiskusikannnya, apabila
terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap mempertahankan kebatilannya
maka saat itu kita memiliki alasan bahkan wajib atas kita untuk menjelaskan
kesalahannya, dan memperingatkan manusia dari kesalahan orang tersebut, dengan
demikian urusan-urusan menjadi baik.
Sedangkan perpecahan dan bergolong-golongan maka
sesungguhnya yang demikian tidak disukai oleh siapapun, kecuali oleh
musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.
Post a Comment