Dan Aku pun Dituduh Wahabi…
Penulis : Ummu Abdullah
Al-Butoni *)
Seiring dengan perjalanan kedewasaan menuju proses pematangan diri, terlebih
lagi pemikiran, gairah untuk mencai ilmu yang shahih, lebih mengenal agama
Islam dari sumber-sumbernya yang asli, menjadi semakin tinggi. Perkenalan tanpa
sengaja dengan manhaj salaf nyaris seolah mencuci otak, memutarbalikkan
pemahaman hingga apa yang tersisa dari pemahaman terdahulu nyaris menjadi tanpa
arti.Sebenarnya bukanlah hal yang aneh, jika gairah itu kemudian timbul. Ketidakmampuan diri dalam mengelola dan memecahkan persoalan hidup secara memuaskan membuat agama yang semula menjadi pelarian untuk menenangkan diri, justru terbukti menjadi sumber mata air jernih pelepas dahaga. Itulah solusinya, pemahaman yang benar untuk menuju keseimbangan hidup sebagaimana manusia diciptakan diatas fitrahnya.
Satu hal yang menjadi konsekuensi dari proses ini adalah sebuah perubahan nyata. Perubahan yang sangat mungkin – bahkan terbukti – banyak menyelisihi kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Meskipun perbedaan itu dalam tahap tertentu masih dapat ditoleransi, namun pada saat-saat lain ada hal-hal prinsipil yang membuat gerah dan menimbulkan keinginan kuat untuk merubahnya,
Perbincangan dengan seorang sahabat seputar persoalan kehidupan beragama menimbulkan sebuah komentar yang mengejutkan, “Dasar Wahabi!” Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan nada bercanda namun pernyataan itu membekas dalam hati. Benarkah aku seorang Wahabi?
Sejauh ini pengenalan akan seorang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – dimana orang-orang yang mengikutinya dinisbatkan kepada namanya menjadi Wahabi – teramat sangat minim. Proses pembelajaran yang selama ini dilalui dan yang pemikirannya banyak mempengaruhi dan merubah alur berpikir, yang mendorong untuk terus mempelajari agama ini dari sumbernya yang asli, Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman para sahabat, adalah seorang tokoh besar Ibnu Qayyim al Jauziyah, salah seorang murid terbaik ulama sekaliber Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan bukannya Syaikh Muhammad bin Abdul wahab.
Lalu apakah karena alur pemikiran yang sejalan, orang juga akan mengatakan bahwa Ibnu Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah – yang hidup jauh sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – adalah pengikut Wahabi?
Baru kemudian teringat perbincangan dengan seorang teman yang lain, dan memang itulah yang dituduhkan kepada Ibnu Taimiyah, bahwa beliau ada seorang wahabi!
Sungguh aneh, bahkan sangat lucu. – jika tidak ingin dikatakan bodoh - Ibnu Taimiyah yang lahir tahun 661 H – 728 H dituduh sebagai wahabi, dengan kata lain sebagai pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir jauh sesudahnya yaitu pada tahun 1115 H?.Siapa yang mengikuti dan siapa yang diikuti? Dengan menggunakan logika berpikir yang paling sederhana pun tuduhan itu akan terlihat sangat menggelikan!
Terlepas dari perdebatan seputar siapa mengikuti siapa, ada rasa penasaran yang mendorong untuk mencari tahu lebih lanjut, siapa sebenarnya seorang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Adalah Kitab Tahuid, sebuah karya monumental beliau, dan kemudian disyarah oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, kitab Tiga Landasan Utama yang disyarah oleh Syaikh Utsaimin, serta Menyingkap Argumen Penyimpangan Tauhid, yang seluruhnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Komentar… ? Subhanallah!
Jika tuduhan wahabi dilekatkan kepada mereka yang membenci pengangungan kuburan, termasuk kuburan orang-orang shalih, maka aku adalah seorang wahabi!
Jika label wahabi dilekatkan kepada mereka yang berdakwah untuk memurnikan tauhid, seperti firman Allah : ”Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun“ (QS Al Mu’minuun : 59), maka aku adalah seorang wahabi!
Jika istilah wahabi disandarkan kepada mereka yang mengharamkan berdo’a kepada selain Allah mengikuti firmanNya : ”Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Yunus : 106) , maka aku ada seorang wahabi!
Jika seorang wahabi adalah mereka yang selalu berusaha menjauhkan segala macam kesyirikan sebagaimana firman Allah , ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.“ (QS An Nisa : 48), maka aku adalah seorang wahabi!
Jika sebutan wahabi dinisbatkan kepada mereka yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat memberikan syafaat melainkan dengan seizin Allah SWT sebagaimana firmanNya, ”Katakanlah: (hai Muhmmad) “Hanya kepunyaan Allah lah syafaat itu semuanya..“ (QS Az Zumar : 44) dan firmanNya : ,“ Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.“ (QS Al Baqarah : 255), ataupun firmanNy, ”Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..“ (QS
Jika tuduhan wahabi dilontarkan kepada mereka yang mengharamkan segala jenis pengagungan atau keberkahan benda-benda dan tempat-tempat keramat, jimat, guna-guna termasuk segala ritual yang terkait dengannya, maka aku adalah seorang wahabi!
Jika tudingan wahabi ditujukan kepada mereka yang berusaha mengenal Allah, agama Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan lebih baik dan mendalam seprti yang dituliskan dalam kitab Utsuluts Tsalasah (3 Landasan Utama), maka aku adalah seorang wahabi!
Dan masih ada banyak jika semisalnya yang dinisbatkan kepada mereka yang dianggap wahabi, yang secara menyeluruh berupaya memurnikan kalimat tauhid laa ilaaha illallah beserta segala aspek yang terkait dengannya berikut konsekuensinya, maka alhamdulillah, saksikanlah aku telah menjadi seorang wahabi!
Sungguh yang perlu dipertanyakan kepada mereka yang berpandangan ”miring” dan cenderung meremehkan ketika memberi cap kepada seseorang sebagai wahabi, manakala semua jika diatas dikumpulkan dan dipertanyakan kepada diri masing-masing, kalimat apakah yang akan tertera mengikuti kata maka sebagai konsekuensinya? Karena menolak semua jika diatas maka keimanan akan persaksian terhadap kalimat tauhid yang selalu diulang dalam setiap shalat, perlu dipertanyakan.
Bahkan sesungguhnya bukanlah yang memecah belah ummat ini dakwah untuk menegakkan tauhid - sebagaimana inti dakwah para nabi -melainkan dakwah lemah lembut yang membiarkan agama ini bercampur dengan segala kemusyrikan, adat istiadat, kepercayaan, bid’ah dan khurafat dengan dalih menghindari perpecahan ummat.
Wallahu a’lam
*) ini adalah sebuah pengalaman pribadi penulis dalam perjalanan menempuh kebenaran, dan saya mengenalnya dari room chat di Yahoo (buldozer)
Post a Comment