makalah karnilis tentang demokrasi ham dan negara
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEMOKRASI, HAM, DAN NEGARA
HAM
dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan
dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga
dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan
mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan
demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak
asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang
merupakan karunia Sang Pencipta. Karena
setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka
prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial.
Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial
untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial.
Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan
dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius,
legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan
sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim
kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu,
kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang
absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai
pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi
tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. Konsepsi HAM dan
demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum.
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum
menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Sebagaimana
telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang
Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan
sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka
materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945
mencakup 27 materi. Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam
Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat
menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup
ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya. Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu
sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya
prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia,
harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab
yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum
kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Pembentukan
negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip
hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak
dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu
negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada
saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung
tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran
akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar
bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa
Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang
dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung
nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa
Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human
Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga
mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The
Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak
dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan
konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan
Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan
sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang
Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi¬kiran mengenai hak asasi manusia di
masa lalu dan mencakup pula pemi¬kiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang
di masa-masa yang akan datang.
B. PERKEMBANGAN DEMOKRASI DAN HAM.
Sejak awal abad ke-20, gelombang
aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan
penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggu¬nakan pisau demokrasi dan
hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan.
Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas
dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang
dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya
negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia.
Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang
ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini
kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun
1990-an. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada
awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial
bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan yang lebih
menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan
pemerintahan yang otoriter.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan
antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami
perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan
oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan
Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P).
Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P
maupun G to P atau P to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa
institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan
suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari
negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia. Dalam era industrialisasi
yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang
di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa
ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa,
juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru¬pakan
produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di
zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus
dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan
produsen. Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak
mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1.
Struktur kekuasaan dalam hubungan antar
negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan
cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang
menguasai dan mendo-minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai
forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan
politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.
Struktur kekuasaan yang tidak demokratis
di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme
yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen¬duduk yang berkuasa ataupun kelas
penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.
Struktur hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana¬jemen
produsen dengan konsumen di setiap ling¬kungan dunia usaha industri, baik
industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Dalam sejarah
instrumen hukum internasional Sering
dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu setidak-tidaknya telah
melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi
hak asasi manusia itu adalah:
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi
hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak
era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum
internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi
manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration
of Human Rights Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin¬dungan hak
asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara,
seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat
dengan Declaration of Indepen¬dence, dan di Perancis dengan Decla¬ration of Rights
of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar
konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia,
kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Generasi
Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political
Rights, konsepsi hak asasi manusia
mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan
ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk
menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan
ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan
ditandatanganinya International Couvenant on Economic, Social and Cultural
Rights pada tahun 1966. Generasi Ketiga Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak
asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk
pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku
bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian
dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain
meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk
menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari
perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi
pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia
tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam
konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan
dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari
generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa
dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam
pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan
dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap
kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak
asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi,
dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana
diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin
kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami
dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula
hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok
masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu
kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
C. KEWAJIBAN
PERLINDUNGAN DAN PEMAJUAN HAM.
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan
vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama
dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan
tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada
pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, serta Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara
terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen
tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan
pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang”
baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional,
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan
bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab
negara, terutama Pemerintah.
Persinggungan
antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas
terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki
potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak
konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat
dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang
terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi
aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang
sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga
ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam
“Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs
of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and
Fundamental Freedom” pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut
menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia
bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang.
Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu
kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat
eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam
kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk
Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak
seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan
tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut
juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun
tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia
yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat
kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.
Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn, John,
Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional
Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan
Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State
Building: Governance and World Order in the 21st Century.
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Teori
Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration.
Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington, Samuel
P. The Third Wave: Democratization in the
Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik Indonesia,
Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun
1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third
Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and
Winston, 1961.
Suseno, Franz
Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Post a Comment