contoh laporan makalah sumber daya pesisir (sosiologi)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ketergantungan Terhadap Sumberdaya Alam
Nilai
dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki
arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di
wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian
besar kota, baik propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c)
kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun
1998 dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta
tenaga kerja secara langsung.
Kedua,
secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting
karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada,
yaitu sekitar 81.000 km (13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75
% dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk
ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi
kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas potensi
sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan, ekosistem
mangrove, ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih
(non renewable resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya
serta jasa-jasa lingkungan (environmental services), seperti pariwisata bahari,
industri maritim dan jasa transportasi.
Sumberdaya
alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat dikelola untuk
menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran masyarakat
dan bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah
pesisir memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa
Indonesia saat sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak
hanya dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pemerataan
kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut tidak akan tercapai
dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan (environmental
sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).
Sumber
daya alam masyarakat pesisir mempunyai potensi yang sangat besar, namun
terkadang masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengelolanya. Tidak semua masyarakat pesisir tidak mampu
mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya. Sebagian masyarakat pesisir yang mampu
mengelola sumber daya alamnya terkadang tidak dihargai.
Kemiskinan
dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat
dielakkan disepanjang sejarah berdirinya republik Indonesia hingga bergulirnya
era reformasi, rintihan pilu masyarakat pesisir tidak jua kunjung reda.
Semestinya bangsa ini berbangga diri memiliki masyarakat yang rela mencurahkan
hidup dan matinya untuk mengelola sumber daya kemaritiman. Mengingat
pembangunan kemaritiman bagi bangsa ini merupakan modal besar dan peluang lebar
untuk menuju persaingan ekonomi global. Dengan memberdayakan masyarakat pesisir
dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah langkah yang sangat mendasar dalam
tahap awal pembangunan kemaritiman.
1.2 Cir i Khas Wilayah Pesisir
Ditinjau
dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada
wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang
alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang
menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain.
Ditinjau
dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya sering tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open
access), kecuali pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan
kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan Sangihe
Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan
karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan
wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang
dan sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem
eksternalitas.
1.3 Karateristik Sosial Ekonomi
Masyarakat Pesisir
Mata
pencaharian : sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermatapencaharian di
sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti
nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), Kemiskinan masyarakat nelayan
(problem struktural), penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai
contoh : Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa,
sekitar 71,64 % merupakan nelayan (Tahun 2001).
Tingkat
pendidikan : sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu,
Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar 70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD)
dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas pendidikan yang ada masih sangat
terbatas.
Lingkungan
pemukiman : kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan
masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh.
Dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat
kesejahteraa rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya
pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Kepedihan mayarakat pesisir yang
diombang-ambing keadaan bangsa yang tidak menentu, di mana pada kenyataannya
mereka adalah korban dari kebusukan pikir para pemimpin, hingga masyarakat
pesisir harus menderita dalam waktu yang berkepanjangan.. Masyarakat pesisir memiliki keinginan besar
untuk terus mengembangkan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi wilayahnya, namun
untuk mewujudkan keinginan tersebut terdapat berbagai hambatan besar yang
diciptakan dari kesalahan sejarah. Masyarakat pesisir saat ini tidak berposisi
sebagai penerima warisan, melainkan bagaimana mereka mencipta dan memberikan
warisan untuk anak cucu mereka kelak, seperti pembuatan jalan raya, fasilitas
ekonomi perikanan, fasilitas umum-sosial, dan seterusnya.
Realitas
banyak terjadi diberbagai wilayah pesisir lainnya. Kelemahan-kelemahan tersebut
biasanya terletak pada terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, rendahnya
kualitas SDM, teknologi penangkapan ikan yang terbatas kapasitasnya, akses
mudal dan pasar produk ekonomi lokal yang terbatas, tidak adanya kelembagaan
sosial-ekomi yang dapat membangun masyarakat dan belum adanya komitmen
pembangunan kawasan pesisir secara terpadu.
Strategi Berangkat dari berbagai
kelemahan masyarak pesisir itulah, menekankan perlu adanya tujuan program
pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan
fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai
kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain,
(1)
memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data
perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi,
(2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi
dan kualitas wawasan para pengurusnya,
(3)
mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal,
seperti terasi, VOC ( Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual
tinggi,
(4)
melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas,
khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin
kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang
potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.
Adapun
fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat
pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi
kepentingan pembangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi,
politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan
akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga
kemampuan gotong royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar
(bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas
pembangunan yang direncanakan.
1.4 Model dan Pelaksanaan
Perencanaan Pembangunan Wilayah
Model
perencanaan : perencanaan masih bias ke up land, meski ada pengakuan hukum
tentang ruang laut (UU No. 24/1992 tentang penataan ruang). Ruang kawasan
pesisir termasuk ruang kawasan tertentu yang perencanaan dan penataannya
terkait dengan produk tata ruang nasional, propinsi dan kabupaten. Model
perencanaan up land menganggap wilayah pesisir given (padahal banyak interaksi
ekonomi dan ekologis) contoh : teori land rent dan teori lokasi. Sebagai
contoh, banyak kota besar di Indonesia yang terletak di pantai mempunyai
perencanaan tata ruang yang bias ke darat. Model perencanaan yang diperlukan
adalah integrasi antara up land dengan wilayah pesisir dan laut untuk membentuk
an area development planning guna mencapai sustainability development (growth,
equity and environmental sustainability), regional stability and nation unity.
Proses
perencanaan : Proses perencanaan selama ini bersifat sentralistik (top down
panning). Proses perencanaan yang diperlukan adalah pendekatan perencanaan
koordinatif-desentralistik untuk menampung berbagai aspirasi stake holder
dengan menerapan strategic development panning dan public choice.
Output
perencanaan : Hasil perencanaan masih belum diimplementasikan secara optimal
mengingat masih banyaknya tumpang tindih bentuk perencanaan dari berbagai
instansi serta belum diakui oleh seluruh stake holder. Dengan perkataan lain
belum menjadi pegangan bagi setiap pihak yang berkepentinngan.
Dari
hal tersebut diatas, maka setiap langkah pembangunan, termasuk sektor swasta
akan menemui kendala dan pada gilirannya sumberdaya alam dan lingkungan akan
mengalami tekanan yang besar.
1.5 Sifat dan Proses Perusakan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Permasalahan
yang dihadapi dalam kerusakan sumberdaya dan lingkungan dicirikan oleh sifat
dari proses perusakannya yang berjalan relatif perlahan, namun dampaknya
kebanyakan bersifat menyebar dan komulatif, sehingga pada suatu saat akan
terjadi krisis yang penangulangannya dulit dan mahal. Sedangkan sifat pembuat
aktivitas yang memberikan dampak negatif pada umumnya merupakan golongan yang
kuat secara sosial, ekonomi dan politik, yang mempunyai limpahan dan property
right yang unggul. Sedangkan penerima dampak merupakan golongan miskin yang
lemah hak-haknya. Dengan demikian disparsitas hak-hak merupakan dapat
menimbulkan perusakan lingkungan.
Masalah
kekurangan dalam sistem penilaian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam
sistem ekonomi dan masyarakat, juga menjadi penyebabkan kerusakan. Berlainan
dengan jenis sumberdaya alam lainnya (antara lain sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan yang selalu diperhatikan oleh perencana ekonomi), sumberdaya
alam mengingat nilai-nilai dan jasa-jasanya tidak dihitung dalam sistem ekonomi
pasar, maka nilainya tidak didaftar dalam PDB dan PDRB, sehingga
pemeliharaannya dapat terabaikan. Padahal sumberdaya alam dan lingkungan
memilii pernan penting dan terjadinya kerusakan akan mengancam pertumbuhan
ekonomi nasional dan regenional dan pada gilirannya akan mempertajam tingkat
kesejahteraan dan perbedaaan tingkat hidup antar golongan masyarakat.
Ekologi,
ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dapat memiliki keterkaitan yang penting.
Mengingat adanya sistem pendukung penghidupan semesta, yaitu ekosistem yang
dapat menentukan ekonomi dunia. Bila lingkungan fisik digambarkan sebagai
kumpulan kemungkinan penggunaan, maka pada dasarnya ditentukanlah hubungan
ekonomi dan ekologi. Kemungkinan-kemungkinan penggunaan tersebut disebut
sebagai fungsi-fungsi lingkungan dan mungkin akan bersaing satu sama lain. Bila
tahap tersebut tercapai, maka unsur konflik sejalan dengan konsep permukaan
kelangkaan (scarcity) dan karenanya lingkungan akan mempunyai aspek ekonomi.
Ekonomi akan menjadi bahasan penting bila menyangkut kelangkaan dan kompetisi.
Konflik tersebut tampaknya akan mempunyai sifat antar generasi, yang mempunyai
pilihan antara memaksimumkan produksi atau pertumbuhan jangka pendek tak
berkelanjutan atau menggunakan fungsi lingkungan tersebut dengan cara yang
lebih berkelanjutan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa manifestasi ekonomi
dari kejadian kerusakan lingkungan dapat menjadi indikator penting bagi
perlunya penentuan kebijakan yang diarahkan pada pembanguan yang berkelanjutan.
Adanya
prilaku produsen yang memaksimumkan keuntungan di salah satu sisi dan prilaku
konsumem yang memaksimumkan utilitasnya di sisi lain dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang bersifat open access dan tidak dihitung dalam sistem pasar
dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya dan lingkungan secara ekonomi tidak
efisien. Oleh karenanya, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur
alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, upaya-upaya tersebut sering
menemui hambatan karena pelaku ekonomi dan pemerintah memiliki cara pandang
yang berbeda dan informasi yang terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya
alam tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap sumberdaya yang tidak
dipasarkan (non market valuation) perlu dilakukan agar tujuan pembangunan
wilayah pesisir dan lautan dapat tercapai.
Pentingnya
mempertimbangkan aspek lingkungan (selain ekonomi) dapat dilihat dari kenyataan
bahwa sumberdaya pesisir mempunyai peranan penting dilihat dilihat dari segi
ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia kebutuhan
hidup bagi hewan. Sebagai contoh ekosistem hutan mangrove mempunyai keragaman
biologi yang tinggi, yang anggota-anggotanya telah mampu beradaptasi dengan
perubahan salinitasi yang tinggi dan beberapa biotanya memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti udang, ikan dan kepiting juga mempunyai fungsi ekologis sebagai
nursery ground berbagai ikan dan udag (Muchsin, 2000) serta dapat menahan
abrasi laut. Hasil studi Paryono T.J dkk (1999), menyebutkan bahwa nilai
ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan pada tahun 1999 sebesar
Rp 140.880.427.700/tahun atau rata-rata Rp 8.188.980/ha/tahun. Demikian juga
ekosistem terumbu karang (coral reefs) selain memiliki sumberdaya yag dapat
dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagai objek wisata, khususnya wisata selam,
juga mempunyai fungsi ekologis antara lain tempat mencari makanan, tepat
berkembang biak, tempat asuhan nursery ground, dan tempat memijah (Soedharma,
2000).
Dengan
memperhatikan akan arti pentingnya sumberdaya alam pesisir baik untuk masa
sekarang dan akan datang yang diiringi dengan masalah degredasi, maka
diperlukan upaya pengelolaan sumberdaya yang berlandaskan pada penilaian
sumberdaya itu sendiri melalui metodologi valuasi ekonomi. Sehingga kinerja
ekonomi yang buruk akibat sistem ekonomi yang salah urus, yang tercermin dari
kegagalan kebijakan pemerintah (government failure) terutama campur tangan yang
menyebabkan distorsi dalam sistem ekonomi dan teratasi. Valuasi Ekonomi (VE)
merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi serta lingkungan (economic cum
environmental, ECE) yang mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara
terintegratif (ADB dalam Sanim, 1996)
BAB
III
Penutup
Kesimpulan
ekonomi dan pembangunan
berkelanjutan dapat memiliki keterkaitan yang penting. Mengingat adanya sistem
pendukung penghidupan semesta, yaitu ekosistem yang dapat menentukan ekonomi
dunia. Kemungkinan-kemungkinan penggunaan tersebut disebut sebagai fungsi-fungsi
lingkungan dan mungkin akan bersaing satu sama lain. Bila tahap tersebut
tercapai, maka unsur konflik sejalan dengan konsep permukaan kelangkaan
(scarcity) dan karenanya lingkungan akan mempunyai aspek ekonomi. Ekonomi akan
menjadi bahasan penting bila menyangkut kelangkaan dan kompetisi. Konflik
tersebut tampaknya akan mempunyai sifat antar generasi, yang mempunyai pilihan
antara memaksimumkan produksi atau pertumbuhan jangka pendek tak berkelanjutan
atau menggunakan fungsi lingkungan tersebut dengan cara yang lebih
berkelanjutan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa manifestasi ekonomi dari
kejadian kerusakan lingkungan dapat menjadi indikator penting bagi perlunya
penentuan kebijakan yang diarahkan pada pembanguan yang berkelanjutan.
Oleh karenanya,
diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi sumberdaya tersebut.
Namun demikian, upaya-upaya tersebut sering menemui hambatan karena pelaku
ekonomi dan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda dan informasi yang
terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut. Oleh karenanya
penilaian terhadap sumberdaya yang tidak dipasarkan (non market valuation)
perlu dilakukan agar tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan dapat
tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Azis,
I.J. 1994. llmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.FE- Ul Jakarta.
Dien, Ch., 2004. Analisis sosial ekonomi
masyarakat nelayan dipantai utara dan selatan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Tests, Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado {tidak dipublikasikan).
Fauzi, S. 2000. Valuasi Ekonomi
Sumberdaya Pesisir. Materi pada Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Proyek Kerjasama IPB dengan The Papua
New Guinea University of Technology. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusumastanto, T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan
Pulau-Pulau Kecil –Disampaikan pada Lokakarya Pendekataan Penataan Ruang dalam
Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, pantai dan Pulau-pulau Kecil. Dirjen
Tata Ruang Pesisir, pantai dan Pulau-pulau Kecil. Ditjen P3K- DPK. Jakarta.
Sanin, B. 1996. Teknik Valuasi Ekonomi
Sumberdaya dan Jasa-Jasa Lingkungan Wilayah Pesisir. Kerjasama PPLH-LP IPB
dengan Dirjen Bangda Depdagri dan ADB. Bogor.
Soedharma, D. Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang dan padang Larnun. Materi pada Seminar Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Proyek Kerjasama IPB dengan
The Papua New Guinea University of Technology. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
T
Post a Comment